Tuesday, May 12, 2015

Kucing dan Malaikat Bersayap

Aku mendengar manusia yang tiba-tiba berdoa khusyuk. Aku menatap  manusia berderai air mata.  Aku menyaksikan malaikat berbondong-bondong datang. Aku mengendus aroma bau manusia penuh dosa. Aku mencium aroma wangi surga. Aku meratapi manusia yang lupa berdoa. Aku merapal doa untuk setiap manusia.  Aku mengetahui semua yang mereka rasakan.
*
“Meong... meong...” Telah aku putuskan untuk hidup di gedung ini. Barangkali  nasibku akan lebih baik daripada hidup di pasar yang penuh bau memualkan. Tak perlu berebut makanan dengan kucing jalanan. Tak perlu memakan tikus got yang pahit rasanya. Di sini persaingan tidak begitu ketat. Walaupun tubuhku tetap kurus saja. Tetapi setidaknya, aku seperti memiliki jam makan seperti manusia-manusia itu.
Tak ada perburuan. Setiap kucing seolah-olah mendapatkan jatah makan masing-masing. Setiap kucing seolah-olah di tempatkan di sebuah gedung bernama mawar, melati, kenanga, bougenvil, flamboyant,  dan di gedung-gedung yang tak kuketahui namanya. Inilah sebuah tempat yang kunamai antara surga dan neraka.
Tentu tak ada rumah sakit yang dengan sengaja mendatangkan kucing. Aku adalah kucing yang menyelinap ke gedung pesakitan ini. Bersama kucing-kucing lain, kami bergeriliya mencari makan dan menyaksikan sebuah drama tentang manusia.
Aku bersama dengan Kekep, kucing hitam belang yang berasal dari Cimaragas, mendapatkan makan pagi di ruang kenanga. Ruangan kelas utama yang memiliki 12 kamar. Kami sudah bersiap siaga di pojok lorong sejak petugas pembagi makanan mengetuk pintu kamar pasien. Mengendap-endap tanpa gaduh. Karena gaduh berarti kelaparan bagi kami.
“Kita tunggu para keluarga pasien itu menyimpan makanan di luar kamar. Sekitar setengah jam lagi,” kata Kekep memberitahuku.
Aku hanya menunggu perintah Kekep saja. Karena ini adalah pengalaman pertamaku tinggal di gedung ini. Aku mengendus-endus bau tidak sedap saat kamar nomor 3 dibuka.
“Ehm bau ini,” kata Kep.
Ternyata bau itu menguar juga ke hidung Kekep. “Bau apa ini?” Tanyaku.
Kekep terbatuk-batuk. “Ini bau daging manusia yang selalu memakan harta bagian orang lain,” jelas Kep. “Kau jangan memakan makanan itu, kecuali kalau kepepet. Kita tunggu saja kamar lain membukakan pintu. Semoga ada makanan enak,” lanjut Kekep penuh harap dan bergaya mengajariku.
Di pasar aku pun sering mencium bau ini. Tetapi tak pernah kuhiraukan. Karena bermacam bau membaur dengan aroma aneka ikan, daging, dan semua bau yang menerbitkan air liur sekaligus memancing rasa mual perutku.
Sudah satu jam kita mengintai ruangan kenanga. Hanya ada tiga kamar yang sudah menyimpan sisa makanannya di depan kamar. Yang lainnya, belum juga membuang sisa makanannya. Barangkali masih mereka nikmati hidangan rumah sakit itu dengan tanpa minat dan lahap.
Perutku sudah berkeroncong. Kekep tahu aku sudah mulai kelaparan. Ia memutuskan untuk mulai mengambili sisa makanan itu satu persatu. Aku menuju kamar nomor 7. Kekep menuju kamar nomor 5. Kami melahap makanan itu satu per satu. Namun, perutku masih saja terasa lapar. Begitupun dengan Kep.
“Juha, ayo kita makan sisa makanan yang bau itu. Aku masih saja lapar,” Kep mengajakku.
Kami serta merta menutup hidung sembari memakan sisa makanan yang sungguh terasa sangat pahit. Buru-buru kuhamburkan sisa makanan itu. Dan tak mau melanjutkannya lagi. Kep tersenyum padaku. “Kau sudah tahu rasanya? Aku sengaja mengajakmu memakan sisa makanan ini. Agar kau tahu akan ada banyak rasa makanan di sini, walaupun kita memakan lauk yang sama.”
*
Ada aroma bau yang menyengat di ruang kamar Bougenvile. Satu minggu di sini, aku sudah mengenali bermacam-macam bau dan penyebab bau di tubuh manusia yang tergolek manis di ranjang pasien.
Sungguh betapa menyebalkannya bagiku mendapatkan giliran makan malam di ruangan ini. Kali ini, aku bersama Darsan, kucing tua berwarna coklat berasal dari Bojonghuni.
“Aku tak berselara makan Kek Darsan, lebih baik aku berpuasa saja malam ini.” 
“Mari kita ke pojok ruangan sebelah utara ruangan ini. Aku rasa ada hal lain di ujung sana,” ajak Kek Darsan penuh kesabaran menghadapi setiap gerutuanku. Aku mengikuti kakek tua itu. Bulu-bulunya sudah mulai menipis. Kurus benar kakek ini, batin Juhe. Barangkali akibat terlalu sabar. Atau jangan-jangan karena ia terlalu sering memakan sisa makanan manusia yang bau tikus itu. Iya. Bau amis tikus got yang mengocok seluruh isi perut.
“Kau mulai mencium aroma lain, Juhe?” tanya Kakek Darsan sembari terus menghirup aroma itu dalam-dalam.
“Iya. Aku menghirupnya. Sungguh aku lapar. Dan kita akan makan enak Kek Darsan,” aku bersemangat.
“Hahaha...” Kek Darsan tertawa. Ia melongo ke balik pintu kamar yang terbuka. Kamar nomor 12.
“Kemari,” bisik Kek Darsan kepadaku. Aku menghampirinya perlahan.
“Kau lihat, ada setitik sinar cahaya di sana. Ada sayap yang menyungkupi tubuh lelaki itu. Kau tahu itu apa?”
Aku menggeleng cepat. Baru kali ini aku melihat cahaya dan sayap putih seperti merpati di atas ranjang pasien. “Itu adalah malaikat yang hendak memanggil nyawa lelaki itu. Namun, sepertinya malaikat itu masih belum yakin akan mengambil nyawanya malam ini atau tidak.”
“Ayo kita berdo’a untuk kesembuhan lelaki itu dan untuk keteguhan sang malaikat,” ajak Kek Darsan kepadaku. Ia mulai mengeong lirih. Aku mengamini di sampingnya. Setelah itu, kita memakan hidangan ikan di depan pintu kamar yang sungguh terasa nikmatnya. Aroma pepes ikan menguar menjadi satu bersama harum bunga kasturi. Aku kenyang. Kek Darsan kenyang. Malaikat terbang melalui jendela. Kami mulai menguap dan mengatupkan mata.
*
Malaikat bersayap hitam tengah mengintai kamar VVIP. Ia membawa perkakas tajam yang tak kuketahui namanya. Dan ini pertama kalinya aku melihat benda tajam yang hendak mematikan itu.
Seorang lelaki bertubuh gempal tergolek kesakitan di ruangan VVIP. Ia berkumis. Berjanggut tipis dan berekor panjang. Astaga. Sejak kapan manusia memiliki ekor yang panjang. Mulutnya moncong ke depan. kukunya hitam siap mencakar. Lelaki itu lebih mirip dengan tikus yang terlindas kendaraan di jalan raya daripada manusia. Jangan kau tanyakan tentang aroma di ruangan ini. Bau tikus mati bercampur dengan bau mayat manusia. Kau sudah mencium baunya? Tutup hidungmu dan pergilah. Biarkan hanya aku yang membaui lelaki ini.
“Kenapa kau belum juga mencabut nyawa lelaki itu?” tanyaku pada malaikat.
“Biarkan dia menikmati puncak rasa sakitnya dulu. Baru aku akan melipat gandakan rasa sakit itu.”
“Oh, ya tuhan, betapa malangnya nasib lelaki itu,”
“Ini belum setimpal dengan yang dilakukan selama hidupnya. Ia telah menyakiti semua manusia. Manusia yang berdagang di pintu rumah sakit, manusia yang mengantri panjang di loket pendaftaran rumah sakit, manusia yang terbaring di kamar-kamar biasa, manusia yang menertibkan kendaraan di lapangan parkir,  para petani, juga manusia yang bersergam putih di gedung ini. Untuk kategori yang terakhir aku tak begitu yakin. Namun banyak kemungkinan ia pun disakiti.” Penjelasan malaikat itu begitu panjang. Aku menguap dan tak memiliki selera makan. Sudah kenyang hanya dengan berbicara dengan malaikat bersayap gelap itu.
Malam ini, kusaksikan seorang manusia tikus yang meregang nyawa. Itu cukup membunuh selera makanku malam ini.
*
Sepanjang lingkungan gedung ini, setiap hari telah aku lihat beragam macam manusia yang wajahnya menjelma wajah binatang yang menjijikan. Berkepala ular. Berkepala tikus. Berekor belang. Berkepala anjing. Berkaki kuda. Bertanduk rusa. Berwarna gelap. Berlidah ular, berbisa. Beracun. Berkepala buaya. Berekor cicak.
Namun, kulihat juga wajah-wajah binatang bersayap seperti merpati di benak manusia-manusia itu. Bahkan ada yang menyerupai malaikat bersayap. Tetapi tunggu sebentar. Ada yang berubah dari teman-temanku. Bayangannya seperti tikus. Tetapi tubuhnya sama sepertiku. “Meong.... Meong...” Laelatul Badriyah
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

Iklan