Aku mendengar manusia yang
tiba-tiba berdoa khusyuk. Aku menatap
manusia berderai air mata. Aku
menyaksikan malaikat berbondong-bondong datang. Aku mengendus aroma bau manusia
penuh dosa. Aku mencium aroma wangi surga. Aku meratapi manusia yang lupa
berdoa. Aku merapal doa untuk setiap manusia. Aku mengetahui semua yang mereka rasakan.
*
“Meong... meong...” Telah aku putuskan
untuk hidup di gedung ini. Barangkali
nasibku akan lebih baik daripada hidup di pasar yang penuh bau
memualkan. Tak perlu berebut makanan dengan kucing jalanan. Tak perlu memakan tikus
got yang pahit rasanya. Di sini persaingan tidak begitu ketat. Walaupun tubuhku
tetap kurus saja. Tetapi setidaknya, aku seperti memiliki jam makan seperti
manusia-manusia itu.
Tak ada perburuan. Setiap
kucing seolah-olah mendapatkan jatah makan masing-masing. Setiap kucing seolah-olah
di tempatkan di sebuah gedung bernama mawar, melati, kenanga, bougenvil,
flamboyant, dan di gedung-gedung yang
tak kuketahui namanya. Inilah sebuah tempat yang kunamai antara surga dan neraka.
Tentu tak ada rumah sakit
yang dengan sengaja mendatangkan kucing. Aku adalah kucing yang menyelinap ke
gedung pesakitan ini. Bersama kucing-kucing lain, kami bergeriliya mencari
makan dan menyaksikan sebuah drama tentang manusia.
Aku bersama dengan Kekep,
kucing hitam belang yang berasal dari Cimaragas, mendapatkan makan pagi di ruang
kenanga. Ruangan kelas utama yang memiliki 12 kamar. Kami sudah bersiap siaga
di pojok lorong sejak petugas pembagi makanan mengetuk pintu kamar pasien.
Mengendap-endap tanpa gaduh. Karena gaduh berarti kelaparan bagi kami.
“Kita tunggu para keluarga
pasien itu menyimpan makanan di luar kamar. Sekitar setengah jam lagi,” kata
Kekep memberitahuku.
Aku hanya menunggu
perintah Kekep saja. Karena ini adalah pengalaman pertamaku tinggal di gedung
ini. Aku mengendus-endus bau tidak sedap saat kamar nomor 3 dibuka.
“Ehm bau ini,” kata Kep.
Ternyata bau itu menguar
juga ke hidung Kekep. “Bau apa ini?” Tanyaku.
Kekep terbatuk-batuk. “Ini
bau daging manusia yang selalu memakan harta bagian orang lain,” jelas Kep.
“Kau jangan memakan makanan itu, kecuali kalau kepepet. Kita tunggu saja kamar
lain membukakan pintu. Semoga ada makanan enak,” lanjut Kekep penuh harap dan
bergaya mengajariku.
Di pasar aku pun sering
mencium bau ini. Tetapi tak pernah kuhiraukan. Karena bermacam bau membaur
dengan aroma aneka ikan, daging, dan semua bau yang menerbitkan air liur
sekaligus memancing rasa mual perutku.
Sudah satu jam kita
mengintai ruangan kenanga. Hanya ada tiga kamar yang sudah menyimpan sisa
makanannya di depan kamar. Yang lainnya, belum juga membuang sisa makanannya.
Barangkali masih mereka nikmati hidangan rumah sakit itu dengan tanpa minat dan
lahap.
Perutku sudah
berkeroncong. Kekep tahu aku sudah mulai kelaparan. Ia memutuskan untuk mulai
mengambili sisa makanan itu satu persatu. Aku menuju kamar nomor 7. Kekep
menuju kamar nomor 5. Kami melahap makanan itu satu per satu. Namun, perutku
masih saja terasa lapar. Begitupun dengan Kep.
“Juha, ayo kita makan sisa
makanan yang bau itu. Aku masih saja lapar,” Kep mengajakku.
Kami serta merta menutup
hidung sembari memakan sisa makanan yang sungguh terasa sangat pahit. Buru-buru
kuhamburkan sisa makanan itu. Dan tak mau melanjutkannya lagi. Kep tersenyum padaku.
“Kau sudah tahu rasanya? Aku sengaja mengajakmu memakan sisa makanan ini. Agar
kau tahu akan ada banyak rasa makanan di sini, walaupun kita memakan lauk yang
sama.”
*
Ada aroma bau yang
menyengat di ruang kamar Bougenvile. Satu minggu di sini, aku sudah mengenali
bermacam-macam bau dan penyebab bau di tubuh manusia yang tergolek manis di
ranjang pasien.
Sungguh betapa
menyebalkannya bagiku mendapatkan giliran makan malam di ruangan ini. Kali ini,
aku bersama Darsan, kucing tua berwarna coklat berasal dari Bojonghuni.
“Aku tak berselara makan
Kek Darsan, lebih baik aku berpuasa saja malam ini.”
“Mari kita ke pojok
ruangan sebelah utara ruangan ini. Aku rasa ada hal lain di ujung sana,” ajak
Kek Darsan penuh kesabaran menghadapi setiap gerutuanku. Aku mengikuti kakek
tua itu. Bulu-bulunya sudah mulai menipis. Kurus benar kakek ini, batin Juhe.
Barangkali akibat terlalu sabar. Atau jangan-jangan karena ia terlalu sering
memakan sisa makanan manusia yang bau tikus itu. Iya. Bau amis tikus got yang mengocok
seluruh isi perut.
“Kau mulai mencium aroma
lain, Juhe?” tanya Kakek Darsan sembari terus menghirup aroma itu dalam-dalam.
“Iya. Aku menghirupnya.
Sungguh aku lapar. Dan kita akan makan enak Kek Darsan,” aku bersemangat.
“Hahaha...” Kek Darsan
tertawa. Ia melongo ke balik pintu kamar yang terbuka. Kamar nomor 12.
“Kemari,” bisik Kek Darsan
kepadaku. Aku menghampirinya perlahan.
“Kau lihat, ada setitik
sinar cahaya di sana. Ada sayap yang menyungkupi tubuh lelaki itu. Kau tahu itu
apa?”
Aku menggeleng cepat. Baru
kali ini aku melihat cahaya dan sayap putih seperti merpati di atas ranjang
pasien. “Itu adalah malaikat yang hendak memanggil nyawa lelaki itu. Namun,
sepertinya malaikat itu masih belum yakin akan mengambil nyawanya malam ini
atau tidak.”
“Ayo kita berdo’a untuk
kesembuhan lelaki itu dan untuk keteguhan sang malaikat,” ajak Kek Darsan
kepadaku. Ia mulai mengeong lirih. Aku mengamini di sampingnya. Setelah itu,
kita memakan hidangan ikan di depan pintu kamar yang sungguh terasa nikmatnya.
Aroma pepes ikan menguar menjadi satu bersama harum bunga kasturi. Aku kenyang.
Kek Darsan kenyang. Malaikat terbang melalui jendela. Kami mulai menguap dan
mengatupkan mata.
*
Malaikat bersayap hitam
tengah mengintai kamar VVIP. Ia membawa perkakas tajam yang tak kuketahui
namanya. Dan ini pertama kalinya aku melihat benda tajam yang hendak mematikan
itu.
Seorang lelaki bertubuh
gempal tergolek kesakitan di ruangan VVIP. Ia berkumis. Berjanggut tipis dan
berekor panjang. Astaga. Sejak kapan manusia memiliki ekor yang panjang.
Mulutnya moncong ke depan. kukunya hitam siap mencakar. Lelaki itu lebih mirip
dengan tikus yang terlindas kendaraan di jalan raya daripada manusia. Jangan
kau tanyakan tentang aroma di ruangan ini. Bau tikus mati bercampur dengan bau
mayat manusia. Kau sudah mencium baunya? Tutup hidungmu dan pergilah. Biarkan
hanya aku yang membaui lelaki ini.
“Kenapa kau belum juga
mencabut nyawa lelaki itu?” tanyaku pada malaikat.
“Biarkan dia menikmati
puncak rasa sakitnya dulu. Baru aku akan melipat gandakan rasa sakit itu.”
“Oh, ya tuhan, betapa
malangnya nasib lelaki itu,”
“Ini belum setimpal dengan
yang dilakukan selama hidupnya. Ia telah menyakiti semua manusia. Manusia yang
berdagang di pintu rumah sakit, manusia yang mengantri panjang di loket
pendaftaran rumah sakit, manusia yang terbaring di kamar-kamar biasa, manusia
yang menertibkan kendaraan di lapangan parkir, para petani, juga manusia yang bersergam putih
di gedung ini. Untuk kategori yang terakhir aku tak begitu yakin. Namun banyak
kemungkinan ia pun disakiti.” Penjelasan malaikat itu begitu panjang. Aku
menguap dan tak memiliki selera makan. Sudah kenyang hanya dengan berbicara dengan
malaikat bersayap gelap itu.
Malam ini, kusaksikan
seorang manusia tikus yang meregang nyawa. Itu cukup membunuh selera makanku
malam ini.
*
Sepanjang lingkungan
gedung ini, setiap hari telah aku lihat beragam macam manusia yang wajahnya
menjelma wajah binatang yang menjijikan. Berkepala ular. Berkepala tikus.
Berekor belang. Berkepala anjing. Berkaki kuda. Bertanduk rusa. Berwarna gelap.
Berlidah ular, berbisa. Beracun. Berkepala buaya. Berekor cicak.
Namun, kulihat juga wajah-wajah
binatang bersayap seperti merpati di benak manusia-manusia itu. Bahkan ada yang
menyerupai malaikat bersayap. Tetapi tunggu sebentar. Ada yang berubah dari
teman-temanku. Bayangannya seperti tikus. Tetapi tubuhnya sama sepertiku.
“Meong.... Meong...” Laelatul Badriyah
0 comments:
Post a Comment