Tuesday, April 21, 2015

Terbit Fajar di Ufuk Timur Jepara

"Jika dengan sebenarnya hendak memajukan peradaban, maka haruslah kecerdasan pikiran dan kecerdasan budi sama-sama dimajukan. Habis Gelap Terbitlah Terang”.

“No...!!” teriak Dika memanggil sahabat karibnya, Tono. Hari itu matahari tak begitu bersemangat memapar teriknya. Angin yang diembus dari balik pohon sawo depan sekolah menambah sejuk siang hari.

Dika tak mengulangi panggilannya, Tono tak juga bergeming dari posisi duduk dengan bacaan di tangannya. Diam, terpaku, matanya tak sekejappun berkedip. Ia menari di atas talian huruf-huruf.

Jepara, 1879.
Seorang putri lahir dari pasangan M.A Ngasirah dan Adipati Ario Sosrodiningrat, Kartini namanya, adik dari Sosrokartono.
Tanah Jepara yang masih basah disemai hujan membuat wangi bumi menyeruak ke langit-langit penciuman.
Kartono lekat-lekat memandangi adiknya, “biar dia jadi teman bermainku nanti,” bisiknya dalam hati, tersenyum penuh kebahagiaan melihat seorang adik ayu yang meringkuk dalam rengkuhan hangat ibundanya.
***
Benar saja, Kartini lekat sekali dengan kakak kesayangannya yang pintar dan gemar sekali membaca buku-buku besutan karya anak kumpeni. Tak pernah ketinggalan, Kartini pun turut mengenyam buku buku yang dilahap oleh kakaknya. Mereka tumbuh menjadi putra-putri Jawa yang punya pemikiran modern.
Kakak beradik yang kerap bertarung pendapat, bertukar informasi, sehingga keduanya menjadi pribumi yang mempunyai kecerdasan di atas rata-rata teman sebayanya.
Terlebih lagi, Kartini mendapatkan ijin dari sang ayah untuk mengenyam pendidikan di Europeesches Lagere School, semakin terbuka pemikiran tentang pentingnya pendidikan bagi bangsa Indonesia, terutama kaum perempuan, kaum yang selama ini dinomorduakan oleh tatanan adat dan tradisi yang selama ini mengungkungnya.
Dia merasa iri dengan perempuan Eropa yang bisa bebas bersekolah sampai mereka suka, setinggi yang mereka mau. Mereka bebas mengungkapkan pemikiran mereka. Mereka tak bisa dikekang, tak juga diposisikan sebagaimana kaumnya di tanah Jawa ini.
Pendidikan yang dienyamnya tidak menjadikan Kartini sebagai seorang yang kebarat-baratan dalam pergaulan, justru ia semakin sayang pada kaumnya, tetangganya yang perempuan, teman bermainnya yang tidak mendapatkan kesempatan yang sama untuk bersekolah dan hanya “nrimo” apa yang suah digariskan ayah mereka kepadanya.
“Aku khawatir akan nasib kaumku di tanah Jawa ini, Kangmas..” ucap Kartini mengutarakan perasaannya kepada Kartono.
Kartono yang masyuk dengan bacaannya, beralih melirik Kartini, dan menekuri ucapan adik kandung semata wayangnya itu. Dia menganggguk.
Sungguh, dalam lubuk pikir Kartono, sudah lama bergelayut kecemasan itu. Terutama saat ayah mereka memadu ibundanya dengan Raden Adjeng Woerjan, gadis keturunan langsung Raja Madura. Betapa kakak beradik itu merintih dalam batin melihat nasib yang harus ditanggung oleh ibundanya. Kasih sayang ayahnya tak lagi bulat pada mereka bertiga.
“Apa yang akan kamu lakukan, Kartini?” tanya Kartono menanggapi kecemasan adik kesayangannya.
“Aku ingin membangun sekolah luar biasa untuk putri-putri Jawa Kangmas...” ujar Kartini penuh keyakinan.
Kartono langsung tersenyum mengembang, mengangguk, turut meyakinkan langkah Kartini,”Ya, kelak kamu harus mewujudkan impianmu, Kartini..”.
***
Masa “pingit” pun tiba. Kartini hanya mendapatkan kesempatan untuk bersekolah sebatas usia 12 tahun. Usia mula dimana semangatnya mulai menggebu-gebu namun harus terhenti lantaran tradisi membatasinya.
Meski demikian, tembok kamarnya tak turut membatasi pemikirannya, matanya terus berayun melintasi rentetan huruf dalam surat kabar, majalah, dan buku-buku bacaan kesayangannya. Berulang kali Kartini membacanya. Eropa yang dianganangkannya, selalu dipeluk sebagai mimpi hidupnya.
Dahaganya akan ilmu pengetahuan sungguh tak terbendung. Keahliannya berbahasa Belanda pun semakin terasah, terlebih lagi seorang teman berkebangsaan Belanda yang dikenalnya, Rosa Abendanon, selalu setia menjadi teman korespondensinya.
Pada surat-surat yang dikirim Kartini kepada sahabatnya, Rosa Abendanon, Kartini selalu mengungkapkan pemikiran-pemikirannya akan kondisi sosial saat itu, tradisi Jawa yang membelit kaum wanitanya. Mereka harus mau di”pingit” ketika beranjak remaja, kecil pun tak berilmu karena kesempatan belajar untuk kaumnya hampir tidak pernah ada, dialah Kartini yang beruntung itu yang sempat mengenyam bangku sekolah.
***
Jepara, 1903.
“Putriku, kemarin aku berjumpa dengan Singgih Djojo Adhiningrat, Adipati Rembang, aku bermaksud menikahkanmu dengannya, bersiaplah anakku...” ujar Adipati Ario Sosrodiningrat kepada putrinya, Kartini.
“Kamu akan berbahagia bersamanya, mendampinginya memimpin Rembang,” lanjutnya semakin membuat Kartini tertunduk. 
Kartini merasa asing dengan kehidupan yang akan dijalaninya, dia pun asing akan Adipati Rembang yang akan menjadi suaminya. Yang dia tahu, dirinya bukanlah istri satu satunya, melainkan istri ketiga.
“Ibunda, inikah nasib putrimu selanjutnya? Ananda harus siap menjadi madu Adipati Rembang. Hati menolak pun tak sanggup akan titah ayahanda. Biar nasibku dilindas adat. Biar aku akhirnya menjadi seperti madu dari Ibunda. Maafkan Ananda yang tak sanggup menolak takdir. Eropa, biarlah biar bayangan itu pergi sebagai asa yang tak kunjung sampai atau bahkan sekarang berakhir. Biarlah menjadi guru di Betawi terhempas bagaikan asap yang tak sampai menukik ke langit, ” jerit Kartini dalam batinnya.
Dia seolah bicara pada ibundanya. Ternyata, nasibnya tak jauh berbeda dengan M.A. Ngasirah, ibundanya. Ibu Ngasirah istri pembuka untuk ayahnya, sedangkan dirinya istri ketiga untuk suaminya, kelak.
***
Perhelatan pun digelar untuk pernikahan Adipati Rembang dengan Kartini. Pernikahan berlandaskan adat dan tahta yang memilukan hati putri ayu Jepara itu.
“Biar...biarlah mimpiku untuk kaumku akan selalu kubawa..” Kartini meneguhkan harapannya. Dia tak putus berharap sekalipun dengan keadaannya sekarang sebagai seorang istri Bupati Rembang.
“...Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu...” begitu bunyi surat Kartini, mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Nasib tak patut diratapi terus-menerus, dia tak harus kalah dengan kondisi yang membelenggunya.
Adipati Singgih Djojo Adhiningrat mengerti akan keinginan istrinya untuk mengajak kaum perempuan mengarah pada kemajuan. Maka ia mengijinkan
Kartini untuk mendirikan sekolah wanita yang letaknya di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang.
“Berkaryalah Kartini, aku suamimu, tak mau langkahmu surut, bangunlah kemajuan untuk kaummu. Mereka akan menjadi ibu yang pantas untuk putra-putrinya,” Begitu ujar suaminya.
Bagaikan kemarau panjang yang disapu hujan. Gagasan Kartin pun mendapat sambutan hangat. langkahnya didukung dengan fasilitas tempat yang disediakan untuk pembelajaran para wanita. 
Kartini, ia tak berhenti merintis mimpi-mimpinya akan kehidupan yang lebih baik untuk para wanita Jawa. Sekolah wanita rintisannya pun ditanggapi positif oleh putri Jawa yang selama ini buta huruf, buta angka, dan buta pemikiran.
***
Rembang, 13 September 1904.
“Anakku, Soesalit Djojoadhiningrat, ibunda telah melahirkanmu. Kamu anak lelakiku yang akan jadi penerus generasi ibunda dan ayahandamu...” bisiknya sembari menitikan air mata, melihat bayi kecil itu masih merah dibungkus kain jarik batik. 
Kondisi kesehatan Kartini berangsur-angsur menurun. Lemah lunglai raganya. Hanya empat hari dia bisa menatap buah hati yang telah dilahirkannya. Sang guru kaum wanita itu telah berkalang tanah.
***
Aku mati, aku tidak ada lagi. Aku masih memeluk mimpi-mimpi akan kemajuan kaumku. Aku tertawan tanah sekarang. Bunga-bunga kamboja mengharumkan pekuburanku. Apa yang aku tinggalkan untuk kaumku selain sedikit ilmu yang aku lahap dari bangku sekolah terdahulu. 
Suratku.. Apa kabar surat-surat yang kutulis untuk para sahabat kulit putih? Semoga mereka menghimpunnya, bernurani untuk menjaganya atau menyusup ke relung pikir mereka sebagian asaku yang belum mau padam. Entah. Kuharap kaumku bangkit dari duka lara dan kemiskinan ilmu, pun budi. 
***
“No.. Kartono!” seru Dika, “Cepat jalan, ayuk kita pulang. Bus sekolah mau berangkat, Bro..” senggol Dika mengguncangkan fokus Kartono. Matanya terlalu lekat menatap lukisan Kartini dengan kedua saudara perempuannya.

Kartono bergegas melangkah keluar Museum Kartini. Kali ini, tujuan study tour mereka ke Rembang, tempat Kartini terakhir menghembuskan nafas.

“Kamu lagi mikirin apa, No? Memikirkan hubunganmu dengan R.A Kartini? Hahaha,,” tanya Dika sambil meledek Kartono, yang mirip namanya dengan nama kakak R.A. Kartini. Kartono pun tertawa menanggapi ucapan Dika, sahabatnya yang selalu mengusilinya. 

“Dik, Dik, aku mau cerita serius nih, awalnya aku ngamuk sama ibuku, hari gini aku dikasih nama Kartono, jadul banget kan? ”

Dika semakin tertawa mendengar pernyataan Kartono. Tak terasa, dia pun mengangguk, membenarkan, “Dasar kamu, No! Kamu mikirin juga ledekan anak-anak?” tawanya kembali.

“Rupanya ibuku terobsesi Dik sama sosok Kartini. Nama ibuku Dewi Martha Kartini, coba.. Sampe-sampe anaknya dikasih nama Kartono..” kata Tono lagi.

“Hahaha, aku kira begitu, No. Nenekmu juga tuh No, terobsesi juga sama sosok perempuan cerdas di Indonesia, lihat saja, Dewi kepanjangannya Dewi Sartika, Martha kepanjangan dari Christina Martha Tiahahu, dan terakhir Kartini. Lengkap sudah..” Dika kembali berkelakar cerdas

 “Paling cepet deh kalo urusan nge-bully teman,” Kartono membalas kelakar sahabatnya itu dengan menenggelamkan topinya sampai menutupi mata. Gelak tawa mereka pun pecah. Bus berlabel SMP Mekar Jaya melesat meninggalkan Rembang. Yuanita Utami

0 comments:

Post a Comment

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

Iklan