|
Ilustrasi Kebijakan Satu Anak di China/thegospelcoalition.org |
Kebijakan 'satu anak' China yang diharapkan mampu menekan angka kelahiran hingga 400 juta jiwa, kenyataannya tidak efektif dan malah menimbulkan lonjakan kependudukan. Namun sepertinya hal – hal represif yang berkaitan dengan kebijakan itu akan segera berakhir. Mulai Januari 2016 China secara resmi memberlakukan kebijakan dua anak untuk setiap pasangan.
Berbeda dengan China, Indonesia sudah lebih dulu melakukan pembatasan laju pertumbuhan penduduk. Negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia ini lebih sigap dalam menggalakkan program dua anak cukup. Dikenal dengan nama Keluarga Berencana (KB), program ini sudah dirintis sejak tahun 1957.
Semakin cepatnya laju pertumbuhan negara – negara dunia menjadi hal yang perlu diperhatikan karena tingginya pertumbuhan penduduk tidak dapat dibarengi dengan perluasan wilayah negara tersebut. Data yang diterbitkan oleh BKKBN pada 2014 menyebutkan bahwa penduduk dunia menjadi tujuh miliar orang pada tahun 2011 meningkat satu miliar hanya dalam waktu dua belas tahun dari tahun 1999. Sedangkan peningkatan jumlah penduduk yang sama dihasilkan selama kurun waktu 15 tahun pada 1959 – 1974 dan dalam kurun waktu 30 tahun pada 1930 – 1959.
Pembatasan laju pertumbuhan penduduk dunia telah
dilakukan di berbagai negara melalui berbagai kebijakan kependudukan. India
melalui kebijakan National Rural Health Mission (NRHM) yang diterapkan sekitar
tahun 1990, Filipina dengan Population Act pada tahun 1971, Bangladesh memulai
pada tahun 1976, sedangkan Korea Selatan baru memulai pada tahun 2010 dengan
Saeromaji Plan.
Di
China, pembatasan pertumbuhan penduduk sudah mulai dilakukan sejak tahun 1980.
Deng Xiaoping, presiden China masa itu, menerapkan “Kebijakan Satu Anak”.
Kebijakan ini dituangkan dalam Peraturan Presiden No 63 yang bernama Hukum Perencanaan
Keluarga untuk Republik Rakyat China. Penerapan kebijakan ini langsung terlihat
hasilnya dengan turunnya pertumbuhan penduduk dari 33,43 anak perseribu orang
pada tahun 1970 menjadi 17,7 anak perseribu orang. Namun
tampaknya kebijakan ini terlalu represif sehingga menghasilkan dampak negatif berupa
pelanggaran HAM, seperti aborsi, pembunuhan dan pelanggaran HAM lainnya (Pazli
dan Purwasandi, 2013).
Zhao Bingli, seorang anggota Komisi Perencanaan Keluarga
Nasional, membenarkan bahwa kebijakan satu anak terkadang dilakukan dengan
cukup keras. Misalnya, memiliki anak lebih dari satu akan dikenakan denda yang sangat besar,
melakukan sterilisasi pada pasangan yang telah memiliki satu anak, pemasangan intraurine device (IUD) kepada wanita yang telah memiliki satu
anak, serta aborsi bagi wanita yang telah memiliki satu anak tetapi terlanjur
hamil. Semua itu terkadang dilakukan dengan pemaksaan (lawcoercion) oleh oknum – oknum yang tidak bertanggung jawab tanpa
mengindahkan aspek kemanusiaan dan kesehatan reproduksi (Pazli dan Purwasandi,
2013).
Dilansir dari CNN, Wang Feng, seorang profesor di
Universitas Fudan dan ahli demografi terkemuka di Cina, menyatakan bahwa “kebijakan
satu anak di China adalah suatu kesalahan kebijakan China diera modern” dan
bahwa “kebijakan tersebut sesugguhnya tidak efektif dan tidak perlu karena
tingkat kesuburan China telah melambat pada 1980”. Kebijakan 'satu anak' China yang diharapkan
mampu menekan angka kelahiran hingga 400 juta jiwa, kenyataannya tidak efektif dan
malah menimbulkan lonjakan kependudukan. Namun sepertinya hal – hal represif yang
berkaitan dengan kebijakan itu akan segera berakhir. Mulai Januari 2016 china secara resmi
memberlakukan kebijakan dua anak untuk setiap pasangan.
Diberitakan The Guardian mengutip China
Business News, Kamis (23/7) menjelaskan
bahwa keputusan
nyata untuk membawa kebijakan 'dua anak' ini didorong oleh tumbuhnya oposisi
publik terhadap hukum keluarga berencana. Internet, yang kini bisa diakses oleh
650 juta penduduk China, telah menyatakan ketidaksukaan dan lebih berani mengungkap
hal itu sekarang. Pemerintah, di bawah tekanan publik yang meningkat, perlu menanggapi
permintaan masyarakat. Para ahli memperingatkan bahwa populasi China saat ini didominasi
orang tua, sementara usia produktif kian merosot. PBB memperkirakan China akan memiliki
populasi usia di atas 60 tahun sebanyak 440 juta pada 2050 mendatang. Hal ini
tentunya tidak menguntungkan bagi perekonomian dan industri China.
Berbeda
dengan China, Indonesia sudah
lebih dulu melakukan pembatasan laju pertumbuhan penduduk. Negara dengan jumlah
penduduk terbesar keempat di dunia ini lebih sigap dalam menggalakkan program
dua anak cukup. Dikenal dengan nama Keluarga Berencana (KB), program ini sudah dirintis
sejak tahun 1957. Namun, baru diresmikan pada tahun 1970 melalui Keputusan Presiden
No. 8 tahun 1970 tentang pembentukan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional.
Lebih dari empat dekade pelaksanaannya, KB ini sukses membingkai pola pikir rakyat
Indonesia. Jargon "dua anak cukup" meresap dalam persepsi public sebagai
potret keluarga ideal. Program
ini berhasil mencegah angka kelahiran hingga 80 juta jiwa dari proyeksi jumlah penduduk
285 juta pada tahun 2000.
Merujuk pada hasil pengumpulan opini kompas, sosialisasi
program KB
di masyarakat terbilang cukup efektif. Berbagai instansi, baik negeri maupun swasta, turut
berpartisipasi dalam menyemai informasi tentang KB melalui berbagai media. Mayoritas
publik yang termasuk dalam rentang usia siap menikah, yaitu 24 tahun ke atas,
mengaku pernah mendapatkan penyuluhan atau informasi tentang hal-hal yang
berkaitan dengan KB.
Pemahaman
tentang KB sedikit banyak memengaruhi persepsi dan opini tentang keluarga,
mulai dari menetapkan jumlah anak yang akan dimiliki hingga penggunaan alat kontrasepsi
yang berfungsi sebagai pengatur kehamilan. Faktor usia dan tingkat pendidikan berkontribusi pula
terhadap cara pandang publik dalam membina keluarga yang lebih terencana. Dalam
konteks ini, KB tak sekadar sebagai program pemerintah semata, tetapi lebih jauh
sebagai pijakan pola pikir publik tentang keluarga. (Annur Raushania)
Sumber:
CNN, diakses Pada
28 Desember 2015
Pazli dan
Purwasandi, 2013. Strategi China Menghadapi Kepentingan Amerika Serikat Terhadap China’s One Child Policy. Jurnal Transasional Vol 5, No. 1.
The GUARDIAN,
diakses pada 28 Desember 2015